‘Pemburu Perkasa’,
drama sebabak karya Wolf Mankowitz yang adaptasinya dilakukan WS Rendra,
dipentaskan di Padang, Sabtu dan Minggu, 30 September dan 1 Oktober 1972.
Bertempat di Aula SMA Don Bosco, Jl Chairil Anwar no. 8, Padang, pertunjukan
berlangsung pukul 20.00 s.d. 22.00 WIB. (Kala itu, Pusat Kesenian Padang belum
ada. PKP yang menjadi cikalbakal Taman Budaya Sumatera Barat, baru muncul tahun
1975. Awalnya memanfaatkan stand bekas Padang Fair.)
Drs. Mursal Esten selaku Pimpinan Produksi dalam
pengantarnya mempertanyakan, adakah mungkin menegakkan suatu tradisi kesenian
di (Padang) kota tercinta ini? Pergelaran drama, tari, musik, suara, ataupun
sastra? Baik kesenian klasik maupun kontemporer?
Agaknya, bagi Mursal, tak mudah menjawab pertanyaan
itu. “Banyak hal dan faktor yang harus dipertimbangkan serta dimiliki.
Bahkan diperlukan kearifan dan kejatmikaan memahami kondisi dan fihak-fihak,”
ujarnya.
Tak salah kalau Drs. Hasan Basri Durin, Walikota KDH
Kotamadya Padang (waktu itu) berujar, “Kesenian harus ditumbuhkan, dibina, dan
dikembangkan. Pemerintah berusaha menciptakan situasi dan kondisi di mana
aktivitas dan kreatifitas dapat bertumbuh dan berkembang.” Pemerintah mendorong
pertumbuhan dan perkembangan tersebut, sehingga kesenian betulbetul dapat
berperan dalam kehidupan masyarakat.
Penyelenggara &
Pelaksana Pertunjukan:
1.
Drs. Mursal Esten - Pimpinan Produksi
2.
Leon Agusta – Sutradara
3.
M. Joesfik Helmy – Unit Manager/Stage
Manager/Astradara
4.
Bhr. Tandjung – Asisten Stage Manager/Property
Man
5.
Rusli Marzuki Saria – Unit Keuangan
6.
Wisran Hadi – Art Director/Dekor/Kostum/Make-up
7.
Nazar Ismail – Asisten
8.
Tjiptadi – Penata Cahaya
9.
Abrar Yusra – Penata Suara
10.
Nusjirwan A – Publicity & Dokumentasi
11.
Arby Samah – Naskah
12.
Hasan Basri – Musik Koleksi dan Montase
Pemain:
1.
Leon Agusta – Kakek
2.
Wisran Hadi – Nimrod
3.
Trisna Desmiaty – Dayang I
4.
Jos Sjarif – Dayang II
5.
Alwi Carmena – Pengawal I
6.
Tju Tasman – Pengawal II
7.
Amnidar – Improvisatoris
8.
Martini Amat – idem
9.
Ardha – idem
10.
Rosmizar – idem
11.
Nar Tandjung – idem
12.
Khrisna Bachtiar – idem
13.
Yusniar – idem
14.
Nazidar – idem
15.
Tien Agusta – idem
16.
Metty S – idem
17.
Nazar Ismail – Improvisator
18.
A. Alin D – idem
19.
Basdianto – idem
20.
Chatril Ch – idem
21.
Amil Arief – idem
22.
Mus Muluk – idem
23.
Veed Art – idem
Sponsor:
1.
Drs. Hasan Basri Durin, Walikota Kepala Daerah
Kotamadya Padang
2.
Arby Samah, Kabid Kesenian & Pendidikan
Kesenian Sumatera Barat
3.
Drs. Mursal Esten, Study Group Sastra “Chairil
Anwar”, Padang
4.
Leon Agusta, Bengkel Teater Kota Padang
5.
Rusli Marzuki Saria, Study Group Sastra “Chairil
Anwar”, Padang
6.
Bhr. Tandjung, Sanggar Karya Senidrama, Padang
7.
M. Joesfik Helmy, Jajasan Sastra Budaja, Padang
8.
Wisran Hadi, Sanggar Ketjil, Padang
9.
Abrar Yusra, Penyair
Sinopsis (versi buku undangan):
Seorang laki-laki bernama Nimrod baru saja mengalami nasib
jelek, jatuh bangkrut. Harta kekayaannya ludes dicuri orang, dan istri-istrinya
melarikan diri bersama laki-laki lain.
Nimrod dirongrong kesunyian hidup sendiri. Patah hati dan
putus asa.
Pada saat itulah datang seorang kakek menolongnya dengan
sebuah “jaket ajaib”.
“Jaket ajaib” ini mebuat Nimrod ditakdirkan perlahan-lahan
mengalami nasib baik. Ia bisa mencapai ambisi-ambisi kemanusiaan dan
ambisi-ambisi pribadinya.
Tanpa bersusah-payah apapun Nimrod jadi pemburu, pemburu
kelas satu yang tiada taranya di dunia. Kesengsaraan pribadi yang sebelumnya
menimpa dirinya, telah berganti dengan kemujuran hidup: kayaraya, mempunyai
istri yang banyak jumlahnya, dihormati orang, punya pengikut, dan hidup terkenal.
Kecuali satu hal, ia merasa tidak beruntung: Sebagai manusia
yang pada dasarnya lurus Nimrod merasa bahwa julukan “pemburu kelas satu” yang
disebutkan orang atas dirinya, tak lebih daripada “nol, bukan apa-apa”. Sebab,
tidak merupakan hasil perjuangannya, melainkan hanya berkat mukjizat jaket
ajaib.
Tetapi datanglah kemujuran lain.
Nimrod – berkat jaket ajaib – ditakdirkan menjadi kepala
suku, menjadi raja, lalu mejadi seorang kaisar.
Pada mulanya Nimrod masih saja mempunyai kerendahan hati
kemanusiaannya. Akan tetapi, perlahan-lahan terjadilah perubahan sikap pada
Kaisar Nimrod.
Ia lupa pada dirinya, lupa sumber-sumber kemujuran hidupnya.
Dan ketika ia berhasil menaklukkan seluruh raja-raja di muka bumi, Kaisar
Nimrod merasa bahwa hanya dia sendirilah yang bisa melakukannya.
Ia berbahagia karena berhasil menaklukkan seluruh muka bumi
di bawah duli kekuasaannya.
Ia merasa mampu melaksanakan apapun tugas terberat dan terbaik dalam sejarah. Akan tetapi, karena itu pulalah Kaisar Nimrod merasa
bahwa ia bukan manusia biasa. Ia menolak bahwa sebagai manusia biasa, “konsekuensinya,
pada akhirnya kau akan mati.”
Nimrod merasa diperlakukan tidak adil.
Ia tidak sudi mati. Sebab, mati merupakan suatu “skandal”
bagi dirinya. Dan ia protes.
“Atas dasar apa aku harus mati? Mestinya harus ada
dispensasi istimewa, suatu peraturan khusus, entah bagaimana....”
“Masalah celaka,” Kaisar Nimrod mengutuk. “Bahwa semua orang
harus mati, inilah tesisku. Saya bersedia mengakui bahwa manusia biasa harus
mati. Tapi untuk saya, setelah semua karya sosialku ini, mati artinya skandal.
Jangan suruh aku berdoa........... Pendeta-pendeta tak punya kontak sedikit pun
dengan Tuhan dalam persoalan ini. Itulah, pada akhirnya aku harus mengerjakan
semuanya sendiri.”
Kaisar Nimrod memang mengerjakannya. Membangun suatu menara
tinggi ”sehingga diperlukan waktu satu tahun untuk membawa satu batu bata dari
sini ke puncaknya.”
Kutuk pun jatuhlah. Tuhan mengacaubalaukan bahasa, sehingga
orang-orang satu sama lain saling tidak mengerti.
Nimrod sendiri harus memulai hidupnya lagi dari awal.
Belajar mengenal dirinya kembali. Mengenal dunianya. Belajar berkomunikasi
dengannya.
No comments:
Post a Comment