Wednesday, July 22, 2015

Rinduku pada Semua, Rindu Padang-Padang Terbuka



/indra nara persada


(JANGAN berfikir tentang ‘Rinduku pada Sumba’ Taufiq Ismail. Anggap saja judul ini terjadi sekadar karena reminiscenza)

Bila puasa usai, perang terbesar pun selesai. Lebaran menjelang.

Dan, malam takbiran adalah malam kegairahan. Esok adalah bermaaf-maafan. Beriringan, berkelompok-kelompok, dengan pengeras suara ‘Toa’ menyusuri jalanan kampung. “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Walillah Ilhamd.”

Friday, July 17, 2015

Maaf Lahir Batin, ‘Njir!


/indra nara persada


LANGIT pun muntah. Hujan tumpah. Banjir menjarah. Ahaii… Selamat datang, ‘Njir. Selamat Idul Fitri. Maaf lahir batin.
[Ucapkan pula salam selamat kepada ayam, kambing, padi, sayur, rumah, jalan. Dan segala yang mati, yang ambruk, yang longsor, yang porak-poranda. Jangan ucapkan pada manusia yang mengaku pemiliknya]
Tiba-tiba Udin Rambo tercenung. Datang dari Amerika, menjadi warga negara Indonesia. Berdiam di sebuah rumah sederhana, di sebuah kampung di pinggir Batang Kuranji, Padang Kota Tercinta. Sejak John berubah jadi Udin, baru kali ini ia mengalami banjir sebagai bencana.

Tuesday, July 14, 2015

Ketika Bangau Pulang ke Kubangan


/indra nara persada


PULANG kampung di hari baik bulan baik, terutama saat Riraya Idul Fitri, nyaris tak mengenal krisis ekonomi. Tengoklah beberapa tahun terakhir ini di mana hampir seluruh orang mengeluh karena sulitnya perekonomian. Tapi ketika riraya tiba, nyaris seluruh jalan antar kota maupun dalam kota di Sumatra Barat kebagian macet.

Tak pernah ada data pasti, berapa jumlah rang rantau yang pulang kampung setiap riraya tiba. Berapa banyak rang rantau yang menyilau ranah halamannya sekali setahun itu. Tapi yang pasti, pulang kampung di waktu riraya tak hanya sekadar peristiwa. Ia pun bukan hanya sebuah fenomena. Tapi ia sudah menjadi bagian dari sebuah budaya.