/indra nara persada
LANGIT pun muntah. Hujan
tumpah. Banjir menjarah. Ahaii… Selamat datang, ‘Njir. Selamat Idul Fitri. Maaf
lahir batin.
[Ucapkan pula salam selamat
kepada ayam, kambing, padi, sayur, rumah, jalan. Dan segala yang mati, yang
ambruk, yang longsor, yang porak-poranda. Jangan ucapkan pada manusia yang
mengaku pemiliknya]
Tiba-tiba Udin Rambo
tercenung. Datang dari Amerika, menjadi warga negara Indonesia. Berdiam di
sebuah rumah sederhana, di sebuah kampung di pinggir Batang Kuranji, Padang
Kota Tercinta. Sejak John berubah jadi Udin, baru kali ini ia mengalami banjir
sebagai bencana.
Ribuan ayam bergeleparan. Kambing kecebur berantakan. Padi di sawah ancai-ancaian. Rumah-rumah terban, termasuk badan jalan. Ratusan juta rupiah ditaksir kerugian, begitu diberitakan.
“Banjir, ‘makhluk’ yang tak
dapat ditebas M-16, atau apapun senjata mutakhir yang dapat saya gunakan,”
gumam Udin Rambo. Ia sadar, keperkasaannya dengan senjata, meluluhlantakkan
ribuan nyawa, di sini tak ada guna.
Belajarlah dari alam. Alam
terkembang jadi guru. Udin Rambo pun ingat petuah itu.
“Iqra’. Iqra’. Iqra’.” Udin
pun bergumam, berkali-kali, membatin diri. [Konon, sejak dari Amerika sana, ia
sudah tertarik memeluk kebenaran. Luluh dalam Islam. Dan baru kesampaian, hidup
tenteram, di tempatnya kini berdiam]
Iya. Udin Rambo ‘membaca’.
Banjir ini milik siapa? Makhluk apa dan bagaimana? Kenapa bisa menjelma?
Di pinggir Batang Kuranji
Udin Rambo tercenung. Di tepian ini ia termenung. [“Aku Udin Rambo! Bukan rang
Minang boco!” Kelebat pikiran
mencegahnya untuk marabo]
Kenapa banjir ini baru terjadi
sekarang? Tidak sejak dari dulu-dulu? Tidak sejak nenek moyang memakai kampak batu?
(Kau tak tahu, barangkali karena tak pernah ada pemberitaan suratkabar waktu
itu, Udin!)
Udin Rambo berpikir.
Kincia-kincianya bergerak-gerak memudiki aliran sungai di hadapannya,
menjelajah ke hulu persoalan….
Ada apa?
“Air sungai ini tak lagi
langgeng,” ucap Udin Rambo. Ia ingat, hampir ke hulu sana, banyak tempat yang
sudah dijarah orang-orang. Pasir, batu dan kerikil diambil, diperjualbelikan.
Demi periuk nasi. Itu alasan yang Udin tahu.
Akibatnya? Di banyak tempat
itu, di sepanjang DAS (daerah aliran sungai) yang dikorek-korek tangan jahil
itu, terjadi erosi. Batu dan tanah penyangga hancur berantakan. Longsor. Tiada
lagi tetumbuhan di sana yang dapat menahan tumpahnya air menuju muara. Aliran
sungai pun berpindah-pindah. Melabrak ke sana, melabrak ke sini, melabrak ke
sana sini.
Barangkali umat di Minang
ini sudah lama melupakan falsafahnya. Tak lagi membaca alam, belajar dari alam
dan mengakrabi alam.
Udin Rambo pun terkunana!
Salah siapa ini semua?
Salah manusianya? Orang awam
yang terpaksa mencari sesuap nasi, sejumput belanja dengan jalan mengorek
sungai itu?
Ataukah salah orang tahu
yang tak pernah dengan sungguh memberi tahu?
Ataukah semua salah? Iya
orang awam, iya orang berilmu?
“Wah. Kalau begitu tebas
saja semua dengan senjata agar mereka tak lagi menjadi sumber bencana,” begitu
pikiran Udin Rambo berkelebat. Matanya kembali berkilat tak tetap di tempat.
Tapi ia sadar. Sebulan penuh
puasa, apa gunanya? Haruskah ia mengumbar lagi nafsu angkara?
Tidak!
Dan Udin Rambo kembali terkunana.
“Banjir bukan lagi bencana.
Banjir adalah sebuah makna,” ucapnya, dalam kesendirian di ini tepian.
“Banjir itu milikNya. Milik
kita, umatNya yang lupa,” lanjutnya.
“Banjir adalah makhluk yang
datang dariNya akibat ketaktaatan kita padaNya.” Dan Udin Rambo sadar, tak
banyak orang yang akan berdiri di tepian ini, walau nanti ada yang mengikuti ia
yang tengah sendiri.
Masih bulan Syawal. Lebaran
tak hanya sekadar bermaaf-maafan. Banjir yang datang adalah banjir yang
mengantar kata ganda-berganda: Sudahkah kita yang mengaku manusia mengarifi
setiap makna?
“Taqabballahu minni waminkum, minal ‘aidin wal faizin. Maaf lahir
batin, ‘Njir!” Udin Rambo berlafaz, dan tersenyum. Bukan boco.***
[Tulisan ini dipublikasikan sebagai ‘Komentar Sosial’ Singgalang Minggu,
15 Juni 1986/7 Syawal 1406, halaman 1, kolom 4 s.d. 7, bersambung ke halaman 11
kolom 6 s.d. 9. Ketika itu,30 tahun yang lalu (tahun hijriyah) banjir baru
saja melalah kota Padang. Tidak seperti riraya tahun 1436 ini. (Maaf, kalau ada yang tidak mengerti dengan kata ‘melalah’, silakan lihat KBBI, meski di sana maknanya tidak terlalu sempurna).]
No comments:
Post a Comment