Friday, July 17, 2015

Maaf Lahir Batin, ‘Njir!


/indra nara persada


LANGIT pun muntah. Hujan tumpah. Banjir menjarah. Ahaii… Selamat datang, ‘Njir. Selamat Idul Fitri. Maaf lahir batin.
[Ucapkan pula salam selamat kepada ayam, kambing, padi, sayur, rumah, jalan. Dan segala yang mati, yang ambruk, yang longsor, yang porak-poranda. Jangan ucapkan pada manusia yang mengaku pemiliknya]
Tiba-tiba Udin Rambo tercenung. Datang dari Amerika, menjadi warga negara Indonesia. Berdiam di sebuah rumah sederhana, di sebuah kampung di pinggir Batang Kuranji, Padang Kota Tercinta. Sejak John berubah jadi Udin, baru kali ini ia mengalami banjir sebagai bencana.

Ribuan ayam bergeleparan. Kambing kecebur berantakan. Padi di sawah ancai-ancaian. Rumah-rumah terban, termasuk badan jalan. Ratusan juta rupiah ditaksir kerugian, begitu diberitakan.
“Banjir, ‘makhluk’ yang tak dapat ditebas M-16, atau apapun senjata mutakhir yang dapat saya gunakan,” gumam Udin Rambo. Ia sadar, keperkasaannya dengan senjata, meluluhlantakkan ribuan nyawa, di sini tak ada guna.
Belajarlah dari alam. Alam terkembang jadi guru. Udin Rambo pun ingat petuah itu.
“Iqra’. Iqra’. Iqra’.” Udin pun bergumam, berkali-kali, membatin diri. [Konon, sejak dari Amerika sana, ia sudah tertarik memeluk kebenaran. Luluh dalam Islam. Dan baru kesampaian, hidup tenteram, di tempatnya kini berdiam]
Iya. Udin Rambo ‘membaca’. Banjir ini milik siapa? Makhluk apa dan bagaimana? Kenapa bisa menjelma?
Di pinggir Batang Kuranji Udin Rambo tercenung. Di tepian ini ia termenung. [“Aku Udin Rambo! Bukan rang Minang boco!” Kelebat pikiran mencegahnya untuk marabo]
Kenapa banjir ini baru terjadi sekarang? Tidak sejak dari dulu-dulu? Tidak sejak nenek moyang memakai kampak batu? (Kau tak tahu, barangkali karena tak pernah ada pemberitaan suratkabar waktu itu, Udin!)
Udin Rambo berpikir. Kincia-kincianya bergerak-gerak memudiki aliran sungai di hadapannya, menjelajah ke hulu persoalan….
Ada apa?
“Air sungai ini tak lagi langgeng,” ucap Udin Rambo. Ia ingat, hampir ke hulu sana, banyak tempat yang sudah dijarah orang-orang. Pasir, batu dan kerikil diambil, diperjualbelikan. Demi periuk nasi. Itu alasan yang Udin tahu.
Akibatnya? Di banyak tempat itu, di sepanjang DAS (daerah aliran sungai) yang dikorek-korek tangan jahil itu, terjadi erosi. Batu dan tanah penyangga hancur berantakan. Longsor. Tiada lagi tetumbuhan di sana yang dapat menahan tumpahnya air menuju muara. Aliran sungai pun berpindah-pindah. Melabrak ke sana, melabrak ke sini, melabrak ke sana sini.
Barangkali umat di Minang ini sudah lama melupakan falsafahnya. Tak lagi membaca alam, belajar dari alam dan mengakrabi alam.
Udin Rambo pun terkunana!
Salah siapa ini semua?
Salah manusianya? Orang awam yang terpaksa mencari sesuap nasi, sejumput belanja dengan jalan mengorek sungai itu?
Ataukah salah orang tahu yang tak pernah dengan sungguh memberi tahu?
Ataukah semua salah? Iya orang awam, iya orang berilmu?
“Wah. Kalau begitu tebas saja semua dengan senjata agar mereka tak lagi menjadi sumber bencana,” begitu pikiran Udin Rambo berkelebat. Matanya kembali berkilat tak tetap di tempat.
Tapi ia sadar. Sebulan penuh puasa, apa gunanya? Haruskah ia mengumbar lagi nafsu angkara?
Tidak!
Dan Udin Rambo kembali terkunana.
“Banjir bukan lagi bencana. Banjir adalah sebuah makna,” ucapnya, dalam kesendirian di ini tepian.
“Banjir itu milikNya. Milik kita, umatNya yang lupa,” lanjutnya.
“Banjir adalah makhluk yang datang dariNya akibat ketaktaatan kita padaNya.” Dan Udin Rambo sadar, tak banyak orang yang akan berdiri di tepian ini, walau nanti ada yang mengikuti ia yang tengah sendiri.
Masih bulan Syawal. Lebaran tak hanya sekadar bermaaf-maafan. Banjir yang datang adalah banjir yang mengantar kata ganda-berganda: Sudahkah kita yang mengaku manusia mengarifi setiap makna?
Taqabballahu minni waminkum, minal ‘aidin wal faizin. Maaf lahir batin, ‘Njir!” Udin Rambo berlafaz, dan tersenyum. Bukan boco.***


[Tulisan ini dipublikasikan sebagai ‘Komentar Sosial’ Singgalang Minggu, 15 Juni 1986/7 Syawal 1406, halaman 1, kolom 4 s.d. 7, bersambung ke halaman 11 kolom 6 s.d. 9. Ketika itu,30 tahun yang lalu (tahun hijriyah) banjir baru saja melalah kota Padang. Tidak seperti riraya tahun 1436 ini. (Maaf, kalau ada yang tidak mengerti dengan kata ‘melalah’, silakan lihat KBBI, meski di sana maknanya tidak terlalu sempurna).]

No comments:

Post a Comment