Tuesday, July 14, 2015

Ketika Bangau Pulang ke Kubangan


/indra nara persada


PULANG kampung di hari baik bulan baik, terutama saat Riraya Idul Fitri, nyaris tak mengenal krisis ekonomi. Tengoklah beberapa tahun terakhir ini di mana hampir seluruh orang mengeluh karena sulitnya perekonomian. Tapi ketika riraya tiba, nyaris seluruh jalan antar kota maupun dalam kota di Sumatra Barat kebagian macet.

Tak pernah ada data pasti, berapa jumlah rang rantau yang pulang kampung setiap riraya tiba. Berapa banyak rang rantau yang menyilau ranah halamannya sekali setahun itu. Tapi yang pasti, pulang kampung di waktu riraya tak hanya sekadar peristiwa. Ia pun bukan hanya sebuah fenomena. Tapi ia sudah menjadi bagian dari sebuah budaya.

Arus pulang kampung di masa 30 atau 40 tahun lalu, bagi orang Minang, tentu tidak seheboh yang terjadi kini. Di masa itu, urbanisasi –dalam pengertian migrasi dari desa ke kota-- di kalangan rang awak pun sudah terjadi. Tapi rantau belumlah ‘sejauh terbang bangau’. Dari kampung-kampung di Tanahdatar bersekolah ke Padang, sudah disebut merantau. Dari desa-desa di Pasaman mencari penghidupan ke Bukittinggi, dari Payakumbuh meneruka ke Bangkinang atau Pekanbaru, sudah bernama merantau. Ke Jawa, ke Sigli ke Kutaraja (kini Bandaaceh) di Aceh, ke Kualatungkal di Jambi, ke Bengkulu dan Manna di Bengkulu, ke Palembang di Sumsel, ke Krui dan Tanjungkarang di Lampung, bahkan ke Seremban ke Negeri Sembilan di Malaya (kini Malaysia), itu adalah rantau yang sudah teramat jauh. Tak cukup waktu sehari untuk sampai di sana, tapi berhari-hari, bahkan bisa hitungan minggu.

Kini, zaman sudah jauh berubah, musim telah ganti berganti, jarak terasa semakin dekat akibat makin lancarnya arus transportasi. Maka –sadar atau tidak—pengertian merantau bagi orang Minang pun bergeser. Merantau lebih ditujukan bagi mereka yang memang pergi jauh dari batas-batas geografis Ranah Minang. Tak hanya sebatas keluar dari nagari atau luhak. Rantau rang Minang pun mengalir makin jauh. Tak mengherankan jika orang Gugukrandah, Agam, bisa ditemukan di Darwin, Australia. Kualalumpur terasa laiknya hanya sejangkauan dari Tanah Minangkabau. Rang Piaman sekolah di Leiden, Negeri Belanda, mencari nafkah di Marseille, Perancis. Dan nyaris setiap nagari di Minangkabau kini menjadi asal dari perantau yang tersebar di banyak belahan dunia. Dari Australia hingga Eropa, dari Asia, Afrika, Timur Tengah, hingga benua Amerika, tak pelak lagi, ada perantau asal Minang.

Maka, lancarnya arus transportasi itu pulalah yang menjadi penyebab, ketika riraya Idul Fitri menjelang, banyak di antaranya yang pulang, menyilau kembali nagari asalnya, bertemu muka dengan dunsanak yang telah lama ditinggalkan.

Tapi pertanyaannya, kenapa kini, di saat Idul Fitri? Kenapa tidak di hari-hari lain sehingga tidak terlalu tumpah ruah sepenuh jalan kampung?

Bagi orang Jawa, ritual penting riraya –selain shalat Idul Fitri--, sebagaimana diungkap Clifford Geertz dalam bukunya Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, adalah permintaan maaf perorangan oleh diri sendiri yang dipolakan menurut perbedaan status. Anak kepada orang tua, murid kepada guru, yang muda kepada yang tua. Maka ritual itu pun lekat dengan tradisi sungkeman.

Tapi bagi orang Minang, pulang riraya tak hanya sekadar ‘mohon maaf lahir batin’. Ia lebih pada makna ungkapan ‘sejauh-jauh terbang bangau pulangnya ke kubangan jua’. Bagi bangau, kubangan adalah basis hidupnya. Kembali ke kubangan, adalah kembali ke fitrah dirinya. Bila ia kembali mengepakkan sayap, terbang meninggalkan kubangannya, ia pergi dengan membawa kesegaran baru, kegairahan baru.

Maka bagi orang Minang, kubangannya adalah ranah halamannya, nagarinya, rumah tua di mana ia atau orang tuanya pernah dilahirkan. Di sinilah, di antara sanak kerabatnya, ia kembali menemukan fitrahnya, merajut kembali simpul diri yang mungkin longgar atau terlepas. Karena hari-hari yang panjang di rantau mungkin telah meracaunya menjadi hanya sebuah ‘mesin-individu’. Di sinilah, di tapak tanah halamannya ia kembali merasakan kesegaran dari darah turunan yang mengalir di raganya, menemukan kegairahan dari kehangatan nafas yang mengisi setiap sudut dan langkan rumah gadangnya, meraih kembali makna dari sebuah kehidupan.

Maka tak aneh bila seorang perantau yang pulang kampung kali ini berucap bijak, “Pulang kampung bagi saya adalah sebagai usaha merapatkan anak-anak dengan kampungnya ……. Kalau tidak diajak pulang, mereka pasti sulit merasakan bahwa mereka itu orang Minang.”

Dan untuk itu, kesempatan pulang kampung haruslah mengambil momen yang paling tepat. Ketika rang rantau dan rang kampung bagaikan sepakat, momen rirayalah yang paling bermanfaat. Ketika ritual agama bertemu dengan kiprah budaya, ketika itulah bertemu-dekat, tak hanya dengan sanak kerabat di kampung tapi juga banyak dunsanak dari rantau yang berbeda.

Siguntua ka Batangkapeh
Taruihlah jalan ka Lakitan
Dek mujua bundo malapeh
Ayam lai pulang ka pautan

***


[Tulisan di atas pernah dimuat sebagai ‘Langgam’ (sejenis Tajuk Rencana) di Tabloid KORAN PADANG, terbitan Yayasan Swadaya Mandiri, Jakarta, Edisi 04, Tahun I, 1-31 Desember 2001, dengan judul ‘Pulang Kampung’]

No comments:

Post a Comment