/indra nara persada
PULANG kampung di hari baik
bulan baik, terutama saat Riraya Idul Fitri, nyaris tak mengenal krisis ekonomi.
Tengoklah beberapa tahun terakhir ini di mana hampir seluruh orang mengeluh
karena sulitnya perekonomian. Tapi ketika riraya tiba, nyaris seluruh jalan
antar kota maupun dalam kota di Sumatra Barat kebagian macet.
Tak pernah ada data pasti,
berapa jumlah rang rantau yang pulang kampung setiap riraya tiba. Berapa banyak
rang rantau yang menyilau ranah halamannya sekali setahun itu. Tapi yang pasti,
pulang kampung di waktu riraya tak hanya sekadar peristiwa. Ia pun bukan hanya
sebuah fenomena. Tapi ia sudah menjadi bagian dari sebuah budaya.
Arus pulang kampung di masa
30 atau 40 tahun lalu, bagi orang Minang, tentu tidak seheboh yang terjadi
kini. Di masa itu, urbanisasi –dalam pengertian migrasi dari desa ke kota-- di
kalangan rang awak pun sudah terjadi. Tapi rantau belumlah ‘sejauh terbang
bangau’. Dari kampung-kampung di Tanahdatar bersekolah ke Padang, sudah disebut
merantau. Dari desa-desa di Pasaman mencari penghidupan ke Bukittinggi, dari
Payakumbuh meneruka ke Bangkinang atau Pekanbaru, sudah bernama merantau. Ke
Jawa, ke Sigli ke Kutaraja (kini Bandaaceh) di Aceh, ke Kualatungkal di Jambi,
ke Bengkulu dan Manna di Bengkulu, ke Palembang di Sumsel, ke Krui dan
Tanjungkarang di Lampung, bahkan ke Seremban ke Negeri Sembilan di Malaya (kini
Malaysia), itu adalah rantau yang sudah teramat jauh. Tak cukup waktu sehari
untuk sampai di sana, tapi berhari-hari, bahkan bisa hitungan minggu.
Kini, zaman sudah jauh
berubah, musim telah ganti berganti, jarak terasa semakin dekat akibat makin
lancarnya arus transportasi. Maka –sadar atau tidak—pengertian merantau bagi
orang Minang pun bergeser. Merantau lebih ditujukan bagi mereka yang memang
pergi jauh dari batas-batas geografis Ranah Minang. Tak hanya sebatas keluar
dari nagari atau luhak. Rantau rang Minang pun mengalir makin jauh. Tak
mengherankan jika orang Gugukrandah, Agam, bisa ditemukan di Darwin, Australia.
Kualalumpur terasa laiknya hanya sejangkauan dari Tanah Minangkabau. Rang
Piaman sekolah di Leiden, Negeri Belanda, mencari nafkah di Marseille,
Perancis. Dan nyaris setiap nagari di Minangkabau kini menjadi asal dari
perantau yang tersebar di banyak belahan dunia. Dari Australia hingga Eropa,
dari Asia, Afrika, Timur Tengah, hingga benua Amerika, tak pelak lagi, ada
perantau asal Minang.
Maka, lancarnya arus
transportasi itu pulalah yang menjadi penyebab, ketika riraya Idul Fitri
menjelang, banyak di antaranya yang pulang, menyilau kembali nagari asalnya,
bertemu muka dengan dunsanak yang telah lama ditinggalkan.
Tapi pertanyaannya, kenapa kini,
di saat Idul Fitri? Kenapa tidak di hari-hari lain sehingga tidak terlalu
tumpah ruah sepenuh jalan kampung?
Bagi orang Jawa, ritual
penting riraya –selain shalat Idul Fitri--, sebagaimana diungkap Clifford
Geertz dalam bukunya Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa,
adalah permintaan maaf perorangan oleh diri sendiri yang dipolakan menurut
perbedaan status. Anak kepada orang tua, murid kepada guru, yang muda kepada
yang tua. Maka ritual itu pun lekat dengan tradisi sungkeman.
Tapi bagi orang Minang,
pulang riraya tak hanya sekadar ‘mohon maaf lahir batin’. Ia lebih pada makna
ungkapan ‘sejauh-jauh terbang bangau pulangnya ke kubangan jua’. Bagi bangau,
kubangan adalah basis hidupnya. Kembali ke kubangan, adalah kembali ke fitrah
dirinya. Bila ia kembali mengepakkan sayap, terbang meninggalkan kubangannya,
ia pergi dengan membawa kesegaran baru, kegairahan baru.
Maka bagi orang Minang,
kubangannya adalah ranah halamannya, nagarinya, rumah tua di mana ia atau orang
tuanya pernah dilahirkan. Di sinilah, di antara sanak kerabatnya, ia kembali
menemukan fitrahnya, merajut kembali simpul diri yang mungkin longgar atau
terlepas. Karena hari-hari yang panjang di rantau mungkin telah meracaunya
menjadi hanya sebuah ‘mesin-individu’. Di sinilah, di tapak tanah halamannya ia
kembali merasakan kesegaran dari darah turunan yang mengalir di raganya,
menemukan kegairahan dari kehangatan nafas yang mengisi setiap sudut dan
langkan rumah gadangnya, meraih kembali makna dari sebuah kehidupan.
Maka tak aneh bila seorang
perantau yang pulang kampung kali ini berucap bijak, “Pulang kampung bagi saya
adalah sebagai usaha merapatkan anak-anak dengan kampungnya ……. Kalau tidak
diajak pulang, mereka pasti sulit merasakan bahwa mereka itu orang Minang.”
Dan untuk itu, kesempatan
pulang kampung haruslah mengambil momen yang paling tepat. Ketika rang rantau
dan rang kampung bagaikan sepakat, momen rirayalah yang paling bermanfaat.
Ketika ritual agama bertemu dengan kiprah budaya, ketika itulah bertemu-dekat,
tak hanya dengan sanak kerabat di kampung tapi juga banyak dunsanak dari rantau
yang berbeda.
Siguntua ka Batangkapeh
Taruihlah jalan ka Lakitan
Dek mujua bundo malapeh
Ayam lai pulang ka pautan
***
[Tulisan di atas pernah dimuat sebagai ‘Langgam’
(sejenis Tajuk Rencana) di Tabloid KORAN PADANG, terbitan Yayasan Swadaya
Mandiri, Jakarta, Edisi 04, Tahun I, 1-31 Desember 2001, dengan judul ‘Pulang
Kampung’]
No comments:
Post a Comment