Wednesday, July 22, 2015

Rinduku pada Semua, Rindu Padang-Padang Terbuka



/indra nara persada


(JANGAN berfikir tentang ‘Rinduku pada Sumba’ Taufiq Ismail. Anggap saja judul ini terjadi sekadar karena reminiscenza)

Bila puasa usai, perang terbesar pun selesai. Lebaran menjelang.

Dan, malam takbiran adalah malam kegairahan. Esok adalah bermaaf-maafan. Beriringan, berkelompok-kelompok, dengan pengeras suara ‘Toa’ menyusuri jalanan kampung. “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Walillah Ilhamd.”


Malam ini entah tidur entah tidak. Antara tidur dan terjaga.

Beduk subuh berdentang. Buru-buru mandi, baju baru pun dikemasi. Baju baru, sarung baru, peci baru. Bergerombol lagi. ‘Toa’ kembali mengumandangkan suara itu, suara pujian ‘Allah Maha Besar!’

Bukan satu kelompok, bukan dua atau tiga. Tapi berpuluh-puluh, sahut bersahut suara takbir. Dari ujung sana ke ujung sini, ditingkah teriak si kecil yang ceria. Inilah Hari Raya, setelah sebulan penuh berpuasa.

Pagi ini, hanya satu tujuan. Jemaah datang, bertumpak-tumpak, tumpah ke sebuah tempat. Lapangan terbuka.

“Allahu Akbar”, sembahyang pun mulai.

Assalamu’alaikum ke kanan, assalamu’alaikum ke kiri, sembahyang kali ini pun usai.

Bila khatib selesai mengumandangkan khutbah Ied-nya, umat yang tumpah itupun bersalam-salaman, bermaaf-maafan. Orang sekampung, saling jabat tangan. Ada yang tersenyum, makin akrab. Ada yang terharu, karena saat inilah baru kembali bersatu, setelah (mungkin) berselisih sebelumnya. Tiada lagi lawan, tiada lagi musuh. Yang ada hanya saudara, sesama manusia, sama suci lahir batin.

Ribuan tangan bersalaman, ribuan maaf menggapai pintu surga!

***

NAH, ini!

Kini, berbelas tahun setelah itu, masihkan nuansa itu eksis? Masihkah tigaribu lebih penduduk kampungku tumpah ruah ke sebuah lapangan terbuka?

Sudah beberapa tahun terakhir hal itu tak lagi hadir. Entah tergelincir, entah tercibir.

Di kampungku, sembahyang Hari Raya tak lagi terpusat di satu tempat. Memasuki pagi Hari Raya, mereka sudah tercerai. Terberai di sebuah mesjid, di beberapa mushalla.

Lapangan tak lagi ada!

Atau ini hanya sebuah dampak dari proses modernisasi? Sebuah cerminan kampung yang transisi?

***

Walau nuansa itu masih dapat dianggap terjadi, namun maknanya semakin surut, semakin susut. Ia hanya ada bagi beberapa ratus orang di sebuah mesjid kampung. Atau sekian puluh orang  di sebuah mushalla. Tak lagi semua tergapai, tak lagi semua terpatri, jadi satu hati di sebuah lapangan terbuka.

***

Kampungku, sebuah kampung kecil di pinggir Kota Padang, walau secara geografis sejak beberapa tahun terakhir sudah menjadi bagian Kotamadia.

Gambaran kampungku itu, hanya salah satu gambaran kampung yang dilanda transisi. Kampung yang (secara tak sadar) meninggalkan cirinya sebagai kampung. Tapi, jadi kota secara sosial juga belum.

Di kampungku ini, di mana dulunya sembahyang Hari Raya selalu dilakukan berjamaah di padang terbuka, tumpak-tumpak sawah dijadikan arenanya. Kini, sawah-sawah itu bukan lagi tak ada. Masih ada, tersisa dari sawah yang sudah ditanami batu, ditumbuhi rumah-rumah.

Sawah-sawah yang tersisa itu, barangkali tak lagi cukup menampung tiga ribu lebih jamaah? Bukan, bukan itu!

Musim tanam juga berpengaruh. Dulu, musim sawah kosong, menunggu musim tanam berikutnya, selalu bertepatan dengan Hari Raya. Sawah-sawah itu siap dipinjamkan sesaat oleh pemiliknya, bagi umat sekampung yang akan bersembahyang Hari Raya. Hitung-hitung termasuk berpahala. Kini, kalau tak kepentok dengan padi yang masih menghijau atau menguning sungguhan, ia terpaksa jadi ladang. Karena jumlahnya yang semakin sedikit. Karena makin terjepit kehidupan. Karena makin irit, dibangunlah rumah-rumah sempit.

***

MUNGKIN, itu semua bakal mapan sebagai sebuah kenangan.

Lapangan terbuka, udara terbuka, maaf terbuka, menuju pintu sorga dalam satu nuansa.

Di manakah maaf itu kini berada?

Lengkapkah ia kalau hanya dikurung di mesjid, yang juga dikunjungi tiap hari? Tanpa angkasa terbuka, kubah langit menganga, dengan keMahaBesaran di atas sana?

Rindku kini, hari ini, di negeri ini, rindu pada semua, rindu padang-padang terbuka!***



* [Tulisan ini dimuat di rubrik ‘Komentar’ Harian ‘Singgalang’, Rabu, 28 Mei 1986/19 Ramadhan 1406]

No comments:

Post a Comment