/indra nara persada
(JANGAN berfikir tentang ‘Rinduku pada Sumba’ Taufiq Ismail.
Anggap saja judul ini terjadi sekadar karena reminiscenza)
Bila puasa usai, perang terbesar pun selesai. Lebaran
menjelang.
Dan, malam takbiran adalah malam kegairahan. Esok adalah
bermaaf-maafan. Beriringan, berkelompok-kelompok, dengan pengeras suara ‘Toa’
menyusuri jalanan kampung. “Allahu Akbar,
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Walillah Ilhamd.”
Malam ini entah tidur entah tidak. Antara tidur dan terjaga.
Beduk subuh berdentang. Buru-buru mandi, baju baru pun
dikemasi. Baju baru, sarung baru, peci baru. Bergerombol lagi. ‘Toa’ kembali mengumandangkan
suara itu, suara pujian ‘Allah Maha Besar!’
Bukan satu kelompok, bukan dua atau tiga. Tapi
berpuluh-puluh, sahut bersahut suara takbir. Dari ujung sana ke ujung sini,
ditingkah teriak si kecil yang ceria. Inilah Hari Raya, setelah sebulan penuh
berpuasa.
Pagi ini, hanya satu tujuan. Jemaah datang,
bertumpak-tumpak, tumpah ke sebuah tempat. Lapangan terbuka.
“Allahu Akbar”, sembahyang pun mulai.
Assalamu’alaikum ke kanan, assalamu’alaikum ke kiri,
sembahyang kali ini pun usai.
Bila khatib selesai mengumandangkan khutbah Ied-nya, umat
yang tumpah itupun bersalam-salaman, bermaaf-maafan. Orang sekampung, saling
jabat tangan. Ada yang tersenyum, makin akrab. Ada yang terharu, karena saat
inilah baru kembali bersatu, setelah (mungkin) berselisih sebelumnya. Tiada
lagi lawan, tiada lagi musuh. Yang ada hanya saudara, sesama manusia, sama suci
lahir batin.
Ribuan tangan bersalaman, ribuan maaf menggapai pintu surga!
***
NAH, ini!
Kini, berbelas tahun setelah itu, masihkan nuansa itu eksis?
Masihkah tigaribu lebih penduduk kampungku tumpah ruah ke sebuah lapangan
terbuka?
Sudah beberapa tahun terakhir hal itu tak lagi hadir. Entah
tergelincir, entah tercibir.
Di kampungku, sembahyang Hari Raya tak lagi terpusat di satu
tempat. Memasuki pagi Hari Raya, mereka sudah tercerai. Terberai di sebuah
mesjid, di beberapa mushalla.
Lapangan tak lagi ada!
Atau ini hanya sebuah dampak dari proses modernisasi? Sebuah
cerminan kampung yang transisi?
***
Walau nuansa itu masih dapat dianggap terjadi, namun
maknanya semakin surut, semakin susut. Ia hanya ada bagi beberapa ratus orang
di sebuah mesjid kampung. Atau sekian puluh orang di sebuah mushalla. Tak lagi semua tergapai,
tak lagi semua terpatri, jadi satu hati di sebuah lapangan terbuka.
***
Kampungku, sebuah kampung kecil di pinggir Kota Padang,
walau secara geografis sejak beberapa tahun terakhir sudah menjadi bagian
Kotamadia.
Gambaran kampungku itu, hanya salah satu gambaran kampung
yang dilanda transisi. Kampung yang (secara tak sadar) meninggalkan cirinya
sebagai kampung. Tapi, jadi kota secara sosial juga belum.
Di kampungku ini, di mana dulunya sembahyang Hari Raya
selalu dilakukan berjamaah di padang terbuka, tumpak-tumpak sawah dijadikan
arenanya. Kini, sawah-sawah itu bukan lagi tak ada. Masih ada, tersisa dari
sawah yang sudah ditanami batu, ditumbuhi rumah-rumah.
Sawah-sawah yang tersisa itu, barangkali tak lagi cukup
menampung tiga ribu lebih jamaah? Bukan, bukan itu!
Musim tanam juga berpengaruh. Dulu, musim sawah kosong,
menunggu musim tanam berikutnya, selalu bertepatan dengan Hari Raya.
Sawah-sawah itu siap dipinjamkan sesaat oleh pemiliknya, bagi umat sekampung
yang akan bersembahyang Hari Raya. Hitung-hitung termasuk berpahala. Kini,
kalau tak kepentok dengan padi yang masih menghijau atau menguning sungguhan, ia
terpaksa jadi ladang. Karena jumlahnya yang semakin sedikit. Karena makin
terjepit kehidupan. Karena makin irit, dibangunlah rumah-rumah sempit.
***
MUNGKIN, itu semua bakal mapan sebagai sebuah kenangan.
Lapangan terbuka, udara terbuka, maaf terbuka, menuju pintu
sorga dalam satu nuansa.
Di manakah maaf itu kini berada?
Lengkapkah ia kalau hanya dikurung di mesjid, yang juga
dikunjungi tiap hari? Tanpa angkasa terbuka, kubah langit menganga, dengan
keMahaBesaran di atas sana?
Rindku kini, hari ini, di negeri ini, rindu pada semua,
rindu padang-padang terbuka!***
* [Tulisan ini dimuat
di rubrik ‘Komentar’ Harian ‘Singgalang’, Rabu, 28 Mei 1986/19 Ramadhan 1406]
No comments:
Post a Comment