Sunday, June 7, 2015

Randai & Tantangan Teater Masa Kini


/indra nara persada


Ada pendapat yang membedakan antara teater rakyat dengan teater tradisional. Bahwa teater rakyat adalah teater yang tumbuh dan berkembang di tengah kalangan rakyat, sedangkan teater tradisional adalah teater yang hidup di kalangan kraton atau bangsawan. Randai tidak bisa dimasukkan ke dalam salah satunya saja. Randai ya teater rakyat ya teater tradisional. Randai berkembang di kalangan keturunan bangsawan dan juga berkembang di kalangan rakyat. Ini dikarenakan tidak terdapatnya perbedaan menyolok antara bangsawan dengan rakyat biasa dalam struktur masyarakat Minangkabau sejak dulunya. Raja adalah rakyat, rakyat adalah raja, begitu ringkasnya.

Randai adalah permainan anak muda. Pengertian anak muda di sini bukanlah berarti bahwa semua yang memainkan randai adalah anak muda. Terdapat juga beberapa orang tua yang ikut bermain. Hanya saja,
telah menjadi ungkapan bagi orang Minang, bahwa “randai pamenan nan mudo-mudo” (randai permainan yang muda-muda).

Anak muda yang memainkan randai biasa disebut anak-randai. Anak-randai mengenal randai sebagai pembiasaan gerak dasar pencak silat. Permainan randai biasanya dilakukan pada malam hari di galanggang (gelanggang), yaitu sebuah lapangan tempat bermain silat. Awalnya adalah untuk mengisi waktu bagi mereka yang telah bekerja di sawah atau di ladang pada siang hari. Di sanalah para pemuda dan orang  tua berhibur diri, menyajikan cerita yang disertai dialog dan akting sebagai unsur sebuah teater.

Di samping anak-randai, juga ada yang disebut tukang-dendang (pendendang = yang berdendang) dan urang-tuo (orang tua)/tuo-randai.

Cara bercerita yang dilakukan dalam berrandai ini, sebenarnya merupakan kelanjutan dari bakaba, yaitu menyampaikan cerita melalui dendang (dinyanyikan dengan irama khas Minang).

Bakaba juga diriingi instrumen musik, mulai dari korek api (sijobang), kecapi, sampai dengan iringan saluang, rebab, rebana, dll. Sebagai sastra Minang , bakaba disampaikan oleh tukang kaba dengan lisan (tanpa teks tertulis). Tradisi bakaba inilah yang kemudian dipertemukan dengan gerak dasar pencak silat dalam bentuk lingkaran, disertai dengan dialog dan akting, yang kemudian disebut randai. Unsur penceritaan masih tetap dipertahankan dengan adanya pendendang pada saat perubahan tempat, waktu, dan suasana (pertukaran adegan atau babak).

Randai yang dijumpai sekarang pada umumnya berbentuk lingkaran berputar yang monoton. Sebenarnya, bentuk dahulunya bisa berubah-ubah. Seperti jadi dua lingkaran sebagai pecahan, kemudian dalam gerak cepat menjadi beberapa lingkaran kecil, atau jadi satu lingkaran dengan pemain berpasangan. Semua sesuai dengan kebutuhan pengadeganan. Juga dulu, kekuatan bentuk randai seimbang dengan kekuatan cerita. Tapi sekarang, yang ditemui adalah unsur cerita seakan mengalahkan unsur penyajian yang seharusnya lebih teatrikal.

Unsur cerita pada randai biasanya mengandung hal-hal yang bersifat falsafah kehidupan. Seperti kepahlawanan, hubungan sosial antar-masyarakat Minang yang bersifat kebajikan, dll. Jadi, selain sebagai hiburan, cerita juga mengandung unsur pendidikan, terutama pendidikan tata cara adat Minangkabau.

Berlainan dengan kebiasaan lenong (teater rakyat Betawi) atau ketoprak (teater rakyat Jawa) yang banyak menonjolkan banyolan, maka dalam randai unsur humor tidak begitu terasa. Kalaupun ada paling hanya terdapat pada adegan perkelahian yang kadang disajikan lebih karikatural. Yang menonjol dalam randai dari segi penceritaan adalah unsur filsafatnya tadi.

Randai ditampilkan di arena. Penonton yang melingkar dan alam sekitar langsung menjadi bagian dari pertunjukan. Maksudnya, properti langsung dibangun oleh penonton dan alam dalam bentuk imajinasi dari hasil interpretasi terhadap jalan cerita. Jadi tidak ada “level-level” yang mengisi arena. Dalam benak penontonlah hal seperti itu dituntut untuk diadakan, sehingga si penonton tahu dan dapat merasakan apa dan bagaimana yang sedang terjadi di hadapan mereka.

Seperti teater arja dari Bali, yang mempunyai unsur bebabrigan, di mana penonton sering terlibat atau dilibatkan, maka dalam randai unsur ini terdapat dalam porsi yang lebih kecil. Dalam randai kadang-kadang penonton terlibat kalau jalan cerita membuat suatu keadaan “asyik” pada benak dan jiwa penonton. Untuk itu, penonton akan berteriak mengikuti (disebut bakuai) atau menanggapi hal-hal yang diucapkan oleh pendendang ataupun pemeran.

Antara penonton dengan materi pertunjukan randai sebenarnya terdapat hubungan yang longgar. Penonton bisa datang dan pergi seenaknya tanpa merasa kehilangan karena tidak mengikuti kelanjutan cerita, atau merasa kekurangan karena tidak mengikuti awal cerita. Ini disebabkan dalam randai unsur pengadeganan dari satu adegan ke adegan lain dibuat sedemikian rupa, sehingga dapat menjadi bagian tertentu walaupun tidak terlepas satu sama lainnya.

Longgarnya hubungan dengan penonton juga disebabkan adanya putaran-putaran yang diiringi gurindam atau pantun-pantun oleh pendendang. Terkadang juga ada unsur istirahat yang disii dengan silat atau beberapa jenis tarian seperti Tari Piring, dll. Sehingga, penonton dapat merasa terlepas, untuk kemudian menikmati lagi bagi yang tetap setia mengikuti tontonan maupun bagi yang baru datang.

Dalam penyajiannya sekarang, randai dimulai dengan bunyian dari musik karawitan Minang seperti talempong, pupuik gadang atau pupuik batang padi, gendang atau rebana, saluang, dan rebab. Lalu anak-randai memasuki arena dengan gerak pencak yang disebut galombang atau balabek. Diikuti dengan gerak pasambahan (persembahan). Dan pendendang pun mendendangkan (menyanyikan) gurindam pembuka tanda permainan dimulai, diiringi pula oleh lingkaran berputar dan gurindam pengantar cerita. Barulah masuk unsur dialog dan akting di mana para anak-randai berhenti berputar, dan para pemeran maju untuk melakukan gerak akting dan dialog tersebut.

Anak-randai kembali berputar apabila terjadi perubahan tempat, waktu, dan/atau suasana. Disertai pula dengan gurindam atau pantun yang menyatakan perubahan tersebut. Terakhir adalah gurindam penutup cerita dan putaran serta gurindam penutup randai, yang kembali diakhiri dengan gerak pasambahan dan bunyi-bunyian instrumental.

Gurindam untuk menyatakan perubahan tempat, waktu, dan/atau suasana biasanya terdiri dari 4 baris, tiap baris 4 atau 9 suku kata. Tapi bentuk ini tidak terlalu mengikat. Juga dalam bentuk persajakan. Kalau biasanya pantun bersajak aaaa atau abab, maka gurindam atau pantun randai mungkin saja dengan akhiran yang lain sama sekali.

Dalam hal kostum, umumnya dipakai pakaian silat yang biasanya berwarna hitam, kecuali bagi peran utama atau peran wanita. Dulu, peran wanita dimainkan oleh lelaki, tapi sekarang sudah ada grup randai yang benar-benar memakai wanita sebagai pemeran.

Akting dalam randai sebenarnya banyak dipengaruhi bentuk tonil dari abad pertengahan Eropa. Bentuk tonil ini berkembang dan berpadu dengan ciri akting orang Minang, yang menjadi bentuk khas dari suatu pertunjukan randai ataupun drama Minang lainnya. Perpaduannya juga dipengaruhi oleh unsur cerita yang diangkat dari mitologi Minang dan unsur kalimat yang prosa liris.

Dalam randai tercakup banyak cabang kesenian. Antara lain nyanyian dalam bentuk dendang, tarian dalam bentuk gerak pencak yang diperindah, musik dalam bentuk instrumentalia dari alat-alat tradisional, dll, di samping unsur teater lainnya kecuali penataan cahaya.


Tantangan

Tantangan yang ditimbulkan teater masa kini terhadap teater rakyat, antara lain disebabkan karena merasa bahwa pengaruh dari teater “Barat” saja tak akan mencerminkan suatu ciri tersendiri, yang konon disebut ciri kebudayaan nasional (dalam hal ini teater). Tantangan ini pulalah yang menjadikan orang yang mengerti randai berupaya mengembangkan randai dalam percaturan teater masa kini. Tersebutlah nama-nama macam Leon Agusta, Wisran Hadi, Chairul Harun, dll, dengan segala macam tingkah penggalian dan penggarapan randai dalam pementasan yang mereka selenggarakan, di daerah maupun di ibukota (TIM).

Leon Agusta melakukan pementasan Anggun Nan Tongga di TIM dengan unsur teater rakyat Minang. Lalu ada Chairul Harun dengan pementasan Kaba Malin Kundang di TIM pula. Di samping itu, tersebutlah nama Wisran Hadi yang memasukkan unsur randai dalam naskah “Gaung”nya yang memenangkan sayembara naskah sandiwara DKJ 1975. Tahun 1976 Wisran Hadi mementaskan Wanita Terakhir (Puti Bungsu) di TIM yang banyak mendapat tanggapan dari kalangan orang teater, di samping juga naskah “Ring”nya jadi pemenang harapan sayembara DKJ 1976.

Sampai di manakah orang-orang ini telah menjawab tantangan teater masa kini?

Leon Agusta bisa dikatakan masih mencari bentuk, di mana ia baru pada taraf memperkenalkan. Chairul Harun di Padang mungkin lagi sibuk dengan hal-hal kesenian yang lain. Lalu kita tengok Wisran Hadi yang aktif dengan BUMI Teater-nya.

Dalam pementasan Wanita Terakhir (atas nama Sumatra Barat) Wisran Hadi memakai beberapa unsur kesenian Minang, seperti indang, sijobang, dll. Wanita Terakhir mendapat tanggapan dan kritikan dari orang-orang yang konon berkategori ‘dewa’ teater di Indonesia. Mungkin banyak kekurangan kalau ditinjau dari segi teater masa kini, apa-apa yang disajikan Wisran sebagai sutradara Wanita Terakhir. Ada yang mengatakan sebagai “parade deklamasi”, “koor yang ngambang” atau “penggarapan ruang yang belum beres”, dll.

Unsur teater secara keseluruhan tentulah belum tergarap. Wisran masih dalam taraf eksperimen. Juga beberapa faktor lain, seperti belum tergarapnya para pemain untuk suatu pementasan teater masa kini.

Lalu kita lihat Gaung. Drama ini dipentaskan Wisran Hadi dengan Bumi Teater-nya di Padang, November 1976. Dalam Gaung, Wisran memakai unsur randai dengan gerak pencak yang agak diubah di sana-sini. Dalam perubahan adegan atau babak, ia menggunakan putaran randai yang juga dinyatakan dalam naskah. Lingkaran berputar yang digunakan sudah tidak terikat. Dengan pengertian, bahwa mungkin saja satu lingkaran kemudian menjadi setengah lingkaran. Atau bentuk dasar lingkaran berubah menjadi mempunyai sudut terrtentu. Atau juga beberapa lingkaran kecil berupa anak-anak yang bermain-main. Semuanya tentu sesuai dengan kebutuhan penceritaan dan pengadeganan. Mungkin saja para ‘anak-randai’nya kemudian membentuk bentuk tersendiri seperti rumah, pohon, dll.

Gurindam masih tetap dipertahankan Wisran kala perputaran lingkaran untuk perubahan adegan atau babak.

Untuk kota Padang, pertunjukan Gaung konon cukup sukses. Tapi bagaimana dari segi teater masa kini?

Dari semua itu, yang paling penting dipertanyakan adalah: Sampai di manakah randai lewat tangan Wisran Hadi telah menjawab tantangan teater masa kini?

Sekarang Wisran Hadi berangkat ke Iowa (Amerika Serikat) mengikuti International Writing Program selama lebih kurang empat bulan. Walau ia tetap tak terlepas dari tantangan itu, namun bagi yang lain (baik bagi yang masih tetap di Padang, maupun yang di Jakarta) tantangan tersebut harus  dijawab melalui kerja kreatif pengembangan randai dan harmonisasinya dengan teater masa kini. Juga bagi anak-anak grup Bumi Teater Padang. Kita tunggu dan kita lihat. ***

[Dimuat di rubrik “DIALOG, Lembaran Seni & Budaya” suratkabar harian Berita Buana, Selasa Kliwon, 1 Nopember 1977, redaktur Ikranagara]

2 comments:

  1. Nampaknyo masih banyak tulisan-tulisan anak BUMI nan lain nan di muek di koran Jakarta, kalau masih ado

    ReplyDelete